Sultra.co.id – Kabupaten Muna Barat (Mubar) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) adalah daerah kepulauan yang beragam suku. Daerah ini memiliki 11 kecamatan, 81 desa dan 5 kelurahan dan masih seumur jagung dan lahir sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB) setelah pisah dari Kabupaten Muna tahun 2015.
Masyarakat yang mendiami di wilayah daratan dan pesisir kepulauan memiliki sumber daya manusia (SDM) dan penghasilan berbeda.
Masuknya Dr. Bahri sejak dilantik sebagai Penjabat (Pj) Bupati Mubar pada 27 Mei 2022 sudah mulai menata Mubar. Mulai dari segi pemerintahan, sosial ekonomi masyarakat maupun kondisi masyarakat Mubar yang masih membutuhkan sentuhan atau perhatian dari Pemerintah.
Mengenal masyarakat pesisir
Selama ini permukiman di wilayah pesisir identik dengan daerah kumuh dan jauh dari sorotan publik. Tentu tidak mengherankan karena suguhan pemandangan yang ditunjukkan jauh dari kata layak.
Saban hari, Senin, 11 Juli 2022 Pj Bupati Mubar Dr. Bahri mencoba menelusuri wilayah pesisir. Bertolak dari Kantor Bupati Mubar usai melaksanakan apel upacara. Bahri bersama rombongan langsung di dermaga Tondasi, Kecamatan Tiworo Utara.
Di dermaga, untuk menyeberangi lautan atau hendak mau ke Pulau Santigi menggunakan dua kapal laut yang sudah disiapkan. Satu jam lebih di laut melewati beberapa pulau lainya, setiba di dermaga Santigi Bahri disambut dengan suasana ruah dan gembira.
Di pulau yang jarak tempuhnya 1 jam lebih itu Bahri bertemu dengan masyarakat. Suasana makin pecah saat Bahri memberikan motivasi kepada anak-anak pulau yang putus sekolah agar bisa terus mengejar impiannya. Selain itu, memberikan semangat kepada orang tua agar terus mendukung apa yang menjadi cita-cita anak mereka agar berpendidikan.
Hal yang menjadi motivasi masyarakat pesisir agar anak-anak di pesisir pulau tidak berkecil hati karena Bahri juga berangkat dari keluarga yang tidak berada dan bisa sukses di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) hingga ditunjuk sebagai Pj Bupati Mubar.
“Saya tidak terpisahkan dari orang-orang pesisir. Kita orang pesisir, orang laut jangan merendah hati. Namanya cita-cita harus kita kejar. Contohnya saya,” kata Bahri saat menemui masyarakat Santigi, Senin, 11 Juli 2022.
Ia terus memotivasi masyarakat pesisir agar tidak berkecil hati. Bahri juga mengakui dirinya bahwa adalah bagian warga pesisir yang berangkat dari keluarga tidak berada.
Bagi Bahri, masyarakat pesisir adalah orang-orang hebat yang sebagian hidupnya tergantung dengan hasil laut. Kebiasaan para nelayan di pesisir tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini memiliki SDM yang kurang memadai. Selain itu, dari segi pembangunannya masih terbilang kumuh. Untuk itu, Bahri menginginkan orang pesisir harus bisa sekolah.
Bahri bilang, Ibu kandungnya lahir di Pulau Balu. Suksesnya dirinya karena dorongan dan doa orang tuanya.
“Mama saya lahir di Pulau Balu, saya orang pesisir tapi saya bisa sekolah, bisa pendidikan, bisa masuk STPDN. Ibu saya tidak punya apa-apa,” jelas Bahri.
Suasana makin pecah, suara warga bersorak ketika mendengar ucapan itu. Semangat mereka makin berenergi seakan-akan ingin seperti Bahri dengan menunjukkan aura wajah berkaca-kaca.
Tak sampai di situ, Direktur Anggaran Daerah Kemendagri ini terus menyampaikan apa yang dilalui dari waktu ke waktu. Masih terlintas di memori ingatannya pesan yang disampaikan sang Ibu. Pesan yang disampaikan soal bagaimana anaknya (Bahri) terus bersekolah.
Bahasa sang Ibunya menjadi motivasi Bahri. Bagi dia, Ibu adalah segalanya. Bahri tahu saat itu keluarganya adalah orang tidak berada, hidupnya susah tetapi bahasa Ibunya itulah yang menguatkan dan bisa berdiri tegak hingga menjadi pejabat besar.
“Mama saya bilang, biar saya susah hidup yang penting anak-anakku sekolah. Kenyataan ini kita nikmati sekarang,” kenangnya.
Bahri bilang, orang pesisir bisa bersaing dimana-mana karena semua orang sama yang terpenting ada keinginan untuk belajar sehingga bisa meraih apa yang di inginkan dan apa menjadi kekurangan adalah bukan tolak ukur untuk berkecil hati sehingga tidak dapat berbuat.
“Yah, itu yang saya ingin tanamkan. Bisa jadi contoh, jangan hanya karena keterbatasan di sini kita tidak meraih cita-cita,” harapnya.
Untuk itu, Bahri melawan stigma masyarakat pesisir dan terkesan cenderung pragmatis sehingga membuat banyak orang yang tidak peduli. Motivasi itu juga disampaikan di Pulau Tasipi.
Satu hari penuh, Bahri mengarungi lautan di Selat Tiworo. Bertolak dari pulau Santigi, sekitar pukul 14.00 WITA, Bahri menuju Pulau Katela, Kecamatan Tiworo Kepulauan (Tikep).
Di Pulau Katela, Bahri disambut baik oleh warga setempat. Di pulau penghasil ikan teri dan cumi-cumi dirinya disambut dengan banyak keluhan yang selama ini jarang diperhatikan dan kurang tersentuh serta banyak yang kurang peduli.
Warga Katela, Haji Mansyur (40) mengeluhkan air bersih dan penerangan lampu di setiap rumah warga yang hanya menyala pada malam hari.
Kata dia, penerangan lampu selama ini warga setempat menggunakan tenaga surya hal itu membuat beberapa aktivitas yang dilakukan terganggu. Terus air bersih, mereka mengambil air menggunakan jeriken di daratan yang jarak tempuhnya sangat jauh dengan menggunakan perahu.
“Pertama itu masalah air bersih, terus tenaga Surya. Menurut saya pak kalau bisa pemerintah hari ini supaya ditambah daya saja,” keluhnya.
Disisi lain, dari segi kesehatan juga menjadi perhatian bagi warga setempat. Nelayan pesisir menginginkan kesehatan yang layak sejak dari kecil salah satunya mereka membutuhkan Pustu.
Bukan cuman itu, wilayah pesisir juga selalu dihadapkan dengan badai. Saat musim hujan mereka digenangi air laut. Hal itu sering sekali terjadi dikala musim angin kencang.
Menepis keluhan-keluhan masyarakat pesisir yang ada di pulau Katela itu, Bahri akan menindak lanjuti dengan melihat kebutuhan yang menjadi prioritas masyarakatnya baik itu dari segi pendidikan, kesehatan maupun faktor lain yang bersentuhan langsung dengan generasi anak-anak pesisir demi masa depan yang gemilang.
“Untuk air bersih kita coba uji dulu sumur bor. Kan harus di uji dulu secara laboratorium dan menghasilkan air yang bagus dan tidak asin. Kalau penerangan saya sudah ketemu dengan pihak PLN. Saya ingin datang kesini hitung kebutuhan kira-kira saya bangun PLTS dengan bangun seluruh jaringannya berapa,” jelas Bahri
Bahri juga prihatin dengan kondisi wilayah Pulau Katela. Pasalnya, keluhan nelayan yang menjadi kendala lainnya air pasang hingga membanjiri rumah warga dikala angin kencang musim hujan. Jadi, dirinya meminta kepada seluruh masyarakat yang hadir untuk memberikan waktu menyelesaikan persoalan yang ada.
“Oleh karena itu, beri saya waktu untuk bekerja,” katanya
Tiga pulau yang disinggahi, Bahri mendapat keluhan yang sama dari masyarakat. Tiga pulau yang terbilang kumuh itu masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan.
Menurut Bahri, secara umum masyarakat pesisir terlihat begitu tradisional ketika dilihat dari teknologi dan penampilan yang mereka tunjukkan masih terbilang terbelakang. Sehingga, stigma masyarakat pesisir itu adalah pukulan berat buat Bahri. Pasalnya masyarakat di daerah pesisir yang tinggal di pulau-pulau pun mendapat imbas dari persoalan stigma yang ada.